Advertisement
Korps
Marechaussee te Voet, yang kemudian dikenal sebagai
Marsose diterjunkan ke Aceh mulai 20
April 1890 atau tepat 135 tahun yang lalu. Korps Marsose adalah satuan militer
yang dibentuk atas usulan Mohammad Syarif asal Minangkabau, kepala jaksa di Kutaraja saat itu, yang bertujuan melawan pejuang Aceh yang sulit
ditaklukkan. Awalnya, Korps Marsose ini berisi 20 orang Ambon dan Jawa disetiap
brigade yang berjumlah 12 brigade untuk 1 divisi. Namun seiring berjalan, sejak
tahun 1899 menjadi 5 divisi dengan pasukan berjumlah 1.200 dari berbagai daerah dan negara, diantaranya Belanda, Perancis, Swiss, Belgia, Afrika, dan Hindia Belanda
(Indonesia) yang berisi orang Ambon, Minahasa, Jawa, Madura, Sunda, Bali,
Bugis, Nusa Tenggara, Timor hingga Nias.
Penulis* dalam buku Teuku Bentara Mahmud Setia Radja; Pahlawan Besar Perang Aceh
mengungkapkan bahwa pada peringatan 40 tahun berdirinya pemerintahan militer
dan sipil Belanda di Tapaktuan, tepatnya pada 3 Juni 1939, Mayor Adolphus Doup (seorang
komandan militer yang pernah bertugas di Aceh dan dikenal karena cita-citanya
untuk membangun museum militer di Kutaraja) menulis sebuah artikel berjudul Beknopt Overzicht Van De Krugsgeschiedenis
Van Tapa' Toean En De Zuidelijke Atjehsche Landschappen. Artikel tersebut memberi
gambaran singkat tentang sejarah pendudukan bentang alam (landschap) Tapaktuan dan Zuidkust van Atjeh
menurut catatan Korps Marsose.
Marsose mencatat bahwa perkenalan Belanda
dengan wilayah Babahrot sampai Singkil awalnya hanya sebatas garis pantai,
sedangkan kontak politik hanya sebatas Korte
Verklaring dengan beberapa uleebalang.
Aksi bersenjata Belanda terhadap wilayah ini selama sisa perang hanya terbatas
pada penembakan dari laut: pada tahun 1876 Kuala Batee diserang karena
pembajakan, pada tahun 1878 Labuhan Haji diserang karena menembaki kapal "Palembang"
dan pada tahun 1879 Batee Tunggai diserang karena mengibarkan Bendera Turki dan
Bendera Aceh.
Pada tahun 1896, setelah Teuku Umar
membelot kembali ke pasukan Aceh, militer Belanda mulai intens melakukan serangan
besar-besaran di Aceh, Belanda melakukan ekspedisi Pidie pada tahun 1898, kemudian
menjajaki pesisir Utara dan Timur Aceh pada tahun 1899, serta pasukan mengejar Teuku
Umar di pesisir Barat Aceh. Pengetahuan tentang Aceh Belanda peroleh dari
penelitian dan laporan Dr. Snouck Hurgronje yang menyarankan Van Heutsz untuk
menempatkan beberapa perwira di sejumlah titik vital termasuk Tapaktuan.
Tapaktuan yang penduduknya heterogen;
terdiri dari suku Aceh dan Aneuk Jamee, Belanda mengirim pasukan yang dipimpin seorang
perwira sebagai pejabat administrasi pendudukan militer. Letnan pertama Hendrikus
Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda) sebagai pemimpin militer Belanda
di Tapaktuan. Menurut Colijn, sebenarnya pengiriman pasukan ke Tapaktuan ini
terlambat. Ia merujuk kembali rencana awal Jendral Pel yang berniat membangun
pos militer di Tapaktuan pasca agresi militer Belanda di Aceh jilid II, namun
rencana ini tidak dilaksanakan dan kemudian dipindah ke Meulaboh pada tahun
1877. Tindakan ini sangat disesalkan oleh Colijn. Ia menulis dalam catatatannya
“Apa yang bisa terjadi, jika kami menetap
di sana pada tahun 1874 atau awal tahun 1875. Perdagangan lada mungkin akan
terselamatkan dari kehancuran dan seorang pejabat administrasi yang energik
bisa melakukan apa saja. Pengetahuan kita tentang Pantai Barat akan semakin
luas dan penyelesaian segera mungkin akan membuka mata kita terhadap arah yang
harus diambil lebih cepat dari sekarang.”
Pada 3 Juni 1899,
militer Belanda yang dipimpin Letnan H. Colijn tiba di Tapaktuan. Pada pagi
harinya, Detasemen Belanda menerima Datuk Radja Ahmad Djintan dan Datuk Titah
di atas Kapal Albatros dan membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan pendirian
pos Belanda di Tapaktuan. Pada hari
tersebut juga Letnan Colijn membuka pangkalan militer dan sipil
Belanda di Tapaktuan serta secara resmi mengumumkan
bahwa Otoritas Belanda telah didirikan di wilayah pesisir barat daya yang masih
menjadi terra incognita (tanah
tak dikenal) bagi Belanda.
Subdivisi baru tersebut berpusat di
Tapaktuan dan memiliki wilayah yang membentang dari ujung lanschape Kuala Batee hingga lanschape
Trumon. Di Tapaktuan, Colijn bersusah payah untuk menundukkan pemimpin pasukan
Aceh yang berkarakter dan tangguh seperti Teuku Ben Mahmud dan Teungku Yusuf
Lam Ba’et. Colijn yang diangkat sebagai pejabat administrasi Onderafdeling Tapaktuan berangkat ke
Tapaktuan dengan 75 bayonet dari Batalyon Infanteri Garnisun pada tanggal 1
Juni. Mereka tiba di sana pada tanggal 3 Juni dan langsung mendirikan markas
militer dan kantor administrasi Belanda di tepi Krueng Sarullah, Tapaktuan.
Colijn sangat kewalahan dalam menghadapi pasukan gerilya Aceh yang dipimpin
oleh Teuku Ben Mahmud dari Blangpidie.
Operasi kontra-gerilya yang Belanda
lakukan untuk mengejar Teuku Ben Mahmud membuat militer mereka di Tapaktuan
harus ditingkatkan menjadi 100 bayonet, sementara barisan pasukan bergerak,
Batalyon Infanteri 3 di bawah komando Kapten Glaser diangkat menjadi pejabat
administrasi.
Para pemimipin perjuangan rakyat Aceh di
Tapaktuan dilakukan oleh pemimpin adat (uleebalang)
dan pemimpin agama (ulama), meskipun para ulama dalam perjuangan di wilayah ini
umumnya memiliki pengaruh yang kecil, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka
yang masyhur di Pantai Utara Aceh seperti Teungku Chik di Tiro, Teungku di Cot
Plieng, Teungku di Barat, dll. Karena pengaruh, kharisma dan popularitas yang
besar membuat Teuku Ben Mahmud menjadi sosok sentral dalam perjuangan menentang
pendudukan Belanda di wilayah Tapaktuan dan ulama hanya memainkan peran
sekunder.
Teuku Ben Mahmud seringkali merekrut
pasukannya dari orang-orang Gayo. Masyarakat yang mendiami dataran tinggi dan
daerah pegunungan ini dikenal berani ini sedikit banyak selalu berada di bawah
kendali penduduk pesisir Aceh, yang mereka takuti, sehingga para pemimpin pasukan
Aceh yang cerdas dan pengaruh di pesisir Utara dan Barat seringkali merekrut
prajurit-prajurit Gayo untuk melawan pasukan bayonet Belanda. Selain pemimpin
terkenal Teuku Ben Mahmud dari Blangpidie. Belanda juga dibuat kelewahan dengan
perlawanan Pocut Hasan Lambeuso, Teungku Yusuf Lam Ba’et, Teuku di Geudong dan
Teuku Nago. Prajurit mereka dibekali dengan banyak senjata api mematikan. Sejak
tahun 1899 hingga 1908, militer Belanda di Tapaktuan menjarah 760 senjata api
dari segala jenis dan bahkan beberapa meriam kapal dari pasukan Aceh di wilayah
Tapaktuan.
Seperti halnya di Aceh Besar dan Pantai Utara, pasukan Aceh di wilayah onderafdeling Tapaktuan memulai perang pertamanya di benteng-benteng (kuta) yang seringkali berada di kaki gunung. Pasukan Belanda yang tidak tahu medan, menderita cukup banyak kerugian pada awal perang ini. Pada fase perang berikutnya, perjuangan gerilya yang gigih berkembang: pasukan perlawanan terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bertahan di pegunungan, membangun parit-parit (kurok-kurok), atau bersembunyi di rawa-rawa sekitar gampong (desa), atau di banyak gua di kaki gunung. Ketika pasukan Belanda mendekat atau menyerbu posisi mereka, pasukan Aceh sering menggunakan batu-batu yang menggelinding.
Pada malam hari, pasukan gerilya Aceh
kerap mereka melakukan penggerebekan, penjarahan atau serangan klewang ke
markas Belanda dan rumah-rumah para pengkhianat atau mata-mata (spionase) Belanda yang bermuka dua dan banyak memberi laporan kepada para komandan patroli Belanda. Teuku
Ben Mahmud dengan pasukan 200 orang bersenjatakan senjata api menyerang markas
Belanda di Tapaktuan dengan berani. Sekitar 47 orang pasukannya syahid dalam
dua pertempuran.
Pasukan Teuku Ben Mahmud banyak merepotkan
dan membuat militer Belanda mengalamai kerugian besar. Teuku Ben Mahmud selalu berhasil
bertahan dalam setiap pertempuran. Teuku Ben Mahmud melakukan strategi menjaga
jarak dengan hormat dari pertempuran yang sebenarnya seperti pemimpin adat atau
uleebalang sejati. Teuku Ben Mahmud
berhasil meloloskan diri pada saat kritis, menghilang untuk sementara waktu di dataran
tinggi Gayo Lues dan muncul secara tak terduga bersama sekelompok pasukan gerilya
menyerang dan menghilang secara tiba-tiba. Patroli intensif dan tajam digalakkan
Belanda untuk melacak, mensabotase, dan menundukkan anggota keluarga dan pasukan
Teuku Ben Mahmud seperti Teuku di Gunong.
Wilayah kekuasaan Teuku Ben Mahmud yaitu
Blangpidie diduduki militer Belanda pada Oktober 1900. Pada 7 April 1901, Teuku
Ben Mahmud dan pasukannya yang terdiri dari sekitar 500 orang (sebagian besar
suku Gayo) mengepung Bivak Belanda di Blangpidie. Komandan Bivak Blangpidie;
Letnan Helb yang terkenal berdarah dingin, saat penyerangan tersebut sedang
berada di Susoh dengan dikawal 10 bayonet. Mendengar bahwa bivaknya diserang,
Letnan Helb langsung kembali dengan terburu-buru dan menyerang salah satu sisi pasukan
Teuku Ben Mahmud.
Komandan bivak Babahrot; Letnan Ruempol, dalam
laporannya terkait pertempuran di Gunung Kong menuliskan: “Yang mengherankan Pasukan Aceh bertahan mati-matian, sersan saya bahkan
ditusuk oleh salah satu wanita yang membawa kuda."
Letnan Donner, yang bermalam di Gampong
Rambong, Bakongan pada tahun 1905, dan prajuritnya hampir seluruhnya dibantai
pasukan Aceh. Sekitar 12 tentara Belanda (termasuk Letnan Donner) tewas dan 4
tentara luka-luka. Tak lama kemudian seorang sersan (dari kelompok di bawah
komando Letnan Donner) melakukan penyergapan di dekat Gampong Sibadeh dan
berhadapan dengan pasukan klewang yang yang menewaskan 13 tentara Belanda,
termasuk Sersan komandan patroli.
Setelah kekalahan Belanda ini, polisi
militer diarahkan ke Tapaktuan. Dua pasukan Marsose kemudian dikirim ke Tapaktuan pada tahun 1908 untuk mengejar Teuku Ben
Mahmud, yang terus terhindar dari bahaya dan berkeliaran di negara-negara
bagian atas. Akhirnya Kapten kenamaan W.B.J.A. Scheepens yang memiliki
pengetahuan mendalam tentang bahasa, adat, dan sejarah Aceh, berhasil memaksa Teuku
Ben Mahmud turun gunung. Gerilyawan Ulung Berkaliber Internasional itu muncul
dengan 160 anggota dan dilengkapi senjata api.
Saat itu, seluruh pasukan perlawanan Aceh
di Tapaktuan tunduk di bawah pimpinan pusat Teuku Ben Mahmud. Setelah Teuku Ben
Mahmud turun gunung, Belanda menganggap perlawanan utama di wilayah ini sudah
berakhir. Namun tetap saja Kapten T. J.
Veltman yang mengundurkan diri pada tahun 1911 membunyikan suara peringatan
dalam memonya sebagai berikut: “Saya
memperingatkan untuk selalu bertindak dengan sangat hati-hati. Sebuah alasan
kecil dapat menyebabkan situasi yang menguntungkan ini berubah total”.
Satu dasawarsa setelahnya peringatan ini
menjadi kenyataan dengan munculnya para pemimpin perlawanan baru seperti Teuku
Maulud, Teuku Itam, Teuku Cut Ali, Teuku Raja
Angkasah dan bekas bawahan Teuku Ben Mahmud lainnya yang kemudian akan melakukan balas dendam yang sangat merepotkan
Belanda
Hal ini menandai dimulainya perlawanan di
wilayah Zuidkust van Atjeh (Aceh Selatan) dan di Tapaktuan jilid dua. Bentang
alam Aceh Selatan kembali dalam gemerlap peperangan, seperti pada zaman Teuku
Ben Mahmud Blangpidie. Pasukan Aceh ini tidak melupakan seni perang gerilya; Cut
Ali ini sendiri pernah menjadi panglima Teuku Ben Mahmud Blangpidie dan ikut
turun gunung pada tahun 1908. Setelah Teuku Maulud dikalahkan oleh Kapten Snell
pada pertempuran Krueng Batee, Cut Ali menjadi jiwa perlawanan dan dia
berperilaku sepenuhnya sesuai dengan mantan komandannya; Teuku Ben Mahmud
Blangpidie, dengan menghindari bahaya selama mungkin dan berusaha meningkatkan
dukungannya sebanyak mungkin. Dia mengikuti kebijakan intimidasi Belanda:
Brigade-brigade ditantang, baik secara lisan maupun tertulis, untuk bersaing
dengannya, dan serangan klewang yang sengit dilakukan terhadap brigade-brigade
yang melakukan patroli dan bivak secara sembarangan untuk melemahkan semangat
pasukan dan untuk mendapatkan senjata api sebanyak mungkin.
Pada 3 April 1926, Cut Ali dan Teungku
Banta Saidi gelar Panglima Rajo Lelo IV
berhasil membunuh Kapten J Paris gelar Singa Afrika di Sape, Bakongan.
Peristiwa ini sangat mengejutkan Gubernur Sipil dan Militer Belanda di
Kutaraja. Setelah Kapten J Paris tewas, sisa pasukannya dipimpin oleh Kromodikoro,
seorang perwira polisi militer Jawa yang mencegah kekalahan total. Enam Marsose
(termasuk Kapten J. Paris) tewas dalam serangan klewang terhadap brigade ini,
12 Marsose terluka. Pada 11 Agustus
1926, Letnan Satu Willem Anne Maurits Molenaar terbunuh di Terbangan, Pasie
Raja.
Peristiwa ini memantik semangat jihad
masyarakat Aceh. Serangan klewang dan penyerangan bivak sering terjadi; pasukan
Aceh bahkan tak segan-segan melakukan penyerangan malam hari di bivak Kapten H.
Behrens yang sebelumnya mengalahkan Teuku Puteh dan pasukannya dalam
pertempuran siang hari di Krueng Luas.
Perlawanan kepada Belanda meluas ke utara bentang
alam ini. Pasukan Aceh yang dipimpin Teungku Peukan menyerbu bivak Blangpidie
pada malam hari tanggal 11 September 1926. Teungku Peukan syahid dalam
peristiwa ini, namun hal ini tidak mengubah fakta bahwa moral perlawanan
pasukan Aceh telah meningkat 100% akibat serangan yang berani tersebut.
Sementara itu pada bulan April 1926 telah
dibentuk subdivisi baru yaitu "Landschape
Zuidkust van Atjeh (Bentang Alam Aceh Selatan)", yang dibentuk oleh negeri
Kluet dan Trumon di bawah pemerintahan militer. Setelah penyerangan Teungku
Peukan terhadap bivak (tangsi) Blangpidie, Tapaktuan kembali ditempatkan di bawah
kekuasaan militer dan bertanggung jawab atas pengelolaan Bentang Alam Aceh
Selatan dan Tapaktuan.
Belanda kembali melakukan penyerangan besar-besaran kepada pasukan Aceh yang melakukan perlawanan yang terorganisir di wilayah ini sampai tahun 1928. Sehingga benarlah seperti yang disebut Paul van’t Veer dalam buku Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje bahwa Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terbentang benang merah sampai 1942. alur pembunuhan dan pembantaian hingga mengakibatkan perlawanan perjuangan rakyat setempat yang luas. Puluhan pembunuhan yang dilakukan orang Aceh di antara tahun-tahun itu terkenal di seluruh Hindia Belanda.
*Penulis : Rozal Nawafil, S.Tr.IP (Wakil Ketua DPP Aceh Culture and Education, Sekretaris TP2GK Aceh Barat Daya, Penulis Buku Teuku Bentara Mahmud Setia Radja; Pahlawan Besar Perang Aceh)