Nasional.Top

lisensi

Advertisement

Advertisement
Redaksi
Minggu, 20 April 2025, 17:10 WIB
Last Updated 2025-04-21T03:20:16Z
NewsOpini

Teuku Ben Mahmud dalam Pusaran Perlawanan Kolonial; Catatan Korps Marsose tentang Bentang Alam Tapaktuan-Aceh Selatan

Advertisement


Korps Marechaussee te Voet, yang kemudian dikenal sebagai Marsose diterjunkan ke Aceh mulai 20 April 1890 atau tepat 135 tahun yang lalu. Korps Marsose adalah satuan militer yang dibentuk atas usulan Mohammad Syarif asal Minangkabau, kepala jaksa di Kutaraja saat itu, yang bertujuan melawan pejuang Aceh yang sulit ditaklukkan. Awalnya, Korps Marsose ini berisi 20 orang Ambon dan Jawa disetiap brigade yang berjumlah 12 brigade untuk 1 divisi. Namun seiring berjalan, sejak tahun 1899 menjadi 5 divisi dengan pasukan berjumlah 1.200 dari berbagai daerah dan negara, diantaranya Belanda, Perancis, Swiss, Belgia, Afrika, dan Hindia Belanda (Indonesia) yang berisi orang Ambon, Minahasa, Jawa, Madura, Sunda, Bali, Bugis, Nusa Tenggara, Timor hingga Nias.


Penulis* dalam buku Teuku Bentara Mahmud Setia Radja; Pahlawan Besar Perang Aceh mengungkapkan bahwa pada peringatan 40 tahun berdirinya pemerintahan militer dan sipil Belanda di Tapaktuan, tepatnya pada 3 Juni 1939, Mayor Adolphus Doup (seorang komandan militer yang pernah bertugas di Aceh dan dikenal karena cita-citanya untuk membangun museum militer di Kutaraja) menulis sebuah artikel berjudul Beknopt Overzicht Van De Krugsgeschiedenis Van Tapa' Toean En De Zuidelijke Atjehsche Landschappen. Artikel tersebut memberi gambaran singkat tentang sejarah pendudukan bentang alam (landschap) Tapaktuan dan Zuidkust van Atjeh menurut catatan Korps Marsose.


Marsose mencatat bahwa perkenalan Belanda dengan wilayah Babahrot sampai Singkil awalnya hanya sebatas garis pantai, sedangkan kontak politik hanya sebatas Korte Verklaring dengan beberapa uleebalang. Aksi bersenjata Belanda terhadap wilayah ini selama sisa perang hanya terbatas pada penembakan dari laut: pada tahun 1876 Kuala Batee diserang karena pembajakan, pada tahun 1878 Labuhan Haji diserang karena menembaki kapal "Palembang" dan pada tahun 1879 Batee Tunggai diserang karena mengibarkan Bendera Turki dan Bendera Aceh.


Pada tahun 1896, setelah Teuku Umar membelot kembali ke pasukan Aceh, militer Belanda mulai intens melakukan serangan besar-besaran di Aceh, Belanda melakukan ekspedisi Pidie pada tahun 1898, kemudian menjajaki pesisir Utara dan Timur Aceh pada tahun 1899, serta pasukan mengejar Teuku Umar di pesisir Barat Aceh. Pengetahuan tentang Aceh Belanda peroleh dari penelitian dan laporan Dr. Snouck Hurgronje yang menyarankan Van Heutsz untuk menempatkan beberapa perwira di sejumlah titik vital termasuk Tapaktuan.


Tapaktuan yang penduduknya heterogen; terdiri dari suku Aceh dan Aneuk Jamee, Belanda mengirim pasukan yang dipimpin seorang perwira sebagai pejabat administrasi pendudukan militer. Letnan pertama Hendrikus Colijn (kelak menjadi Perdana Menteri Belanda) sebagai pemimpin militer Belanda di Tapaktuan. Menurut Colijn, sebenarnya pengiriman pasukan ke Tapaktuan ini terlambat. Ia merujuk kembali rencana awal Jendral Pel yang berniat membangun pos militer di Tapaktuan pasca agresi militer Belanda di Aceh jilid II, namun rencana ini tidak dilaksanakan dan kemudian dipindah ke Meulaboh pada tahun 1877. Tindakan ini sangat disesalkan oleh Colijn. Ia menulis dalam catatatannya “Apa yang bisa terjadi, jika kami menetap di sana pada tahun 1874 atau awal tahun 1875. Perdagangan lada mungkin akan terselamatkan dari kehancuran dan seorang pejabat administrasi yang energik bisa melakukan apa saja. Pengetahuan kita tentang Pantai Barat akan semakin luas dan penyelesaian segera mungkin akan membuka mata kita terhadap arah yang harus diambil lebih cepat dari sekarang.”


Pada 3 Juni 1899, militer Belanda yang dipimpin Letnan H. Colijn tiba di Tapaktuan. Pada pagi harinya, Detasemen Belanda menerima Datuk Radja Ahmad Djintan dan Datuk Titah di atas Kapal Albatros dan membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan pendirian pos Belanda di Tapaktuan. Pada hari tersebut juga Letnan Colijn membuka pangkalan militer dan sipil Belanda di Tapaktuan serta secara resmi mengumumkan bahwa Otoritas Belanda telah didirikan di wilayah pesisir barat daya yang masih menjadi terra incognita (tanah tak dikenal) bagi Belanda.


Subdivisi baru tersebut berpusat di Tapaktuan dan memiliki wilayah yang membentang dari ujung lanschape Kuala Batee hingga lanschape Trumon. Di Tapaktuan, Colijn bersusah payah untuk menundukkan pemimpin pasukan Aceh yang berkarakter dan tangguh seperti Teuku Ben Mahmud dan Teungku Yusuf Lam Ba’et. Colijn yang diangkat sebagai pejabat administrasi Onderafdeling Tapaktuan berangkat ke Tapaktuan dengan 75 bayonet dari Batalyon Infanteri Garnisun pada tanggal 1 Juni. Mereka tiba di sana pada tanggal 3 Juni dan langsung mendirikan markas militer dan kantor administrasi Belanda di tepi Krueng Sarullah, Tapaktuan. Colijn sangat kewalahan dalam menghadapi pasukan gerilya Aceh yang dipimpin oleh Teuku Ben Mahmud dari Blangpidie.


Operasi kontra-gerilya yang Belanda lakukan untuk mengejar Teuku Ben Mahmud membuat militer mereka di Tapaktuan harus ditingkatkan menjadi 100 bayonet, sementara barisan pasukan bergerak, Batalyon Infanteri 3 di bawah komando Kapten Glaser diangkat menjadi pejabat administrasi.


Para pemimipin perjuangan rakyat Aceh di Tapaktuan dilakukan oleh pemimpin adat (uleebalang) dan pemimpin agama (ulama), meskipun para ulama dalam perjuangan di wilayah ini umumnya memiliki pengaruh yang kecil, dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang masyhur di Pantai Utara Aceh seperti Teungku Chik di Tiro, Teungku di Cot Plieng, Teungku di Barat, dll. Karena pengaruh, kharisma dan popularitas yang besar membuat Teuku Ben Mahmud menjadi sosok sentral dalam perjuangan menentang pendudukan Belanda di wilayah Tapaktuan dan ulama hanya memainkan peran sekunder.


Teuku Ben Mahmud seringkali merekrut pasukannya dari orang-orang Gayo. Masyarakat yang mendiami dataran tinggi dan daerah pegunungan ini dikenal berani ini sedikit banyak selalu berada di bawah kendali penduduk pesisir Aceh, yang mereka takuti, sehingga para pemimpin pasukan Aceh yang cerdas dan pengaruh di pesisir Utara dan Barat seringkali merekrut prajurit-prajurit Gayo untuk melawan pasukan bayonet Belanda. Selain pemimpin terkenal Teuku Ben Mahmud dari Blangpidie. Belanda juga dibuat kelewahan dengan perlawanan Pocut Hasan Lambeuso, Teungku Yusuf Lam Ba’et, Teuku di Geudong dan Teuku Nago. Prajurit mereka dibekali dengan banyak senjata api mematikan. Sejak tahun 1899 hingga 1908, militer Belanda di Tapaktuan menjarah 760 senjata api dari segala jenis dan bahkan beberapa meriam kapal dari pasukan Aceh di wilayah Tapaktuan.


Seperti halnya di Aceh Besar dan Pantai Utara, pasukan Aceh di wilayah onderafdeling Tapaktuan memulai perang pertamanya di benteng-benteng (kuta) yang seringkali berada di kaki gunung. Pasukan Belanda yang tidak tahu medan, menderita cukup banyak kerugian pada awal perang ini. Pada fase perang berikutnya, perjuangan gerilya yang gigih berkembang: pasukan perlawanan terpecah menjadi kelompok-kelompok yang bertahan di pegunungan, membangun parit-parit (kurok-kurok), atau bersembunyi di rawa-rawa sekitar gampong (desa), atau di banyak gua di kaki gunung. Ketika pasukan Belanda mendekat atau menyerbu posisi mereka, pasukan Aceh sering menggunakan batu-batu yang menggelinding.


Pada malam hari, pasukan gerilya Aceh kerap mereka melakukan penggerebekan, penjarahan atau serangan klewang ke markas Belanda dan rumah-rumah para pengkhianat atau mata-mata (spionase) Belanda yang bermuka dua dan banyak memberi laporan kepada para komandan patroli Belanda. Teuku Ben Mahmud dengan pasukan 200 orang bersenjatakan senjata api menyerang markas Belanda di Tapaktuan dengan berani. Sekitar 47 orang pasukannya syahid dalam dua pertempuran.


Pasukan Teuku Ben Mahmud banyak merepotkan dan membuat militer Belanda mengalamai kerugian besar. Teuku Ben Mahmud selalu berhasil bertahan dalam setiap pertempuran. Teuku Ben Mahmud melakukan strategi menjaga jarak dengan hormat dari pertempuran yang sebenarnya seperti pemimpin adat atau uleebalang sejati. Teuku Ben Mahmud berhasil meloloskan diri pada saat kritis, menghilang untuk sementara waktu di dataran tinggi Gayo Lues dan muncul secara tak terduga bersama sekelompok pasukan gerilya menyerang dan menghilang secara tiba-tiba. Patroli intensif dan tajam digalakkan Belanda untuk melacak, mensabotase, dan menundukkan anggota keluarga dan pasukan Teuku Ben Mahmud seperti Teuku di Gunong.


Wilayah kekuasaan Teuku Ben Mahmud yaitu Blangpidie diduduki militer Belanda pada Oktober 1900. Pada 7 April 1901, Teuku Ben Mahmud dan pasukannya yang terdiri dari sekitar 500 orang (sebagian besar suku Gayo) mengepung Bivak Belanda di Blangpidie. Komandan Bivak Blangpidie; Letnan Helb yang terkenal berdarah dingin, saat penyerangan tersebut sedang berada di Susoh dengan dikawal 10 bayonet. Mendengar bahwa bivaknya diserang, Letnan Helb langsung kembali dengan terburu-buru dan menyerang salah satu sisi pasukan Teuku Ben Mahmud.


Komandan bivak Babahrot; Letnan Ruempol, dalam laporannya terkait pertempuran di Gunung Kong menuliskan: “Yang mengherankan Pasukan Aceh bertahan mati-matian, sersan saya bahkan ditusuk oleh salah satu wanita yang membawa kuda."


Letnan Donner, yang bermalam di Gampong Rambong, Bakongan pada tahun 1905, dan prajuritnya hampir seluruhnya dibantai pasukan Aceh. Sekitar 12 tentara Belanda (termasuk Letnan Donner) tewas dan 4 tentara luka-luka. Tak lama kemudian seorang sersan (dari kelompok di bawah komando Letnan Donner) melakukan penyergapan di dekat Gampong Sibadeh dan berhadapan dengan pasukan klewang yang yang menewaskan 13 tentara Belanda, termasuk Sersan komandan patroli.


Setelah kekalahan Belanda ini, polisi militer diarahkan ke Tapaktuan. Dua pasukan Marsose kemudian dikirim ke Tapaktuan pada tahun 1908 untuk mengejar Teuku Ben Mahmud, yang terus terhindar dari bahaya dan berkeliaran di negara-negara bagian atas. Akhirnya Kapten kenamaan W.B.J.A. Scheepens yang memiliki pengetahuan mendalam tentang bahasa, adat, dan sejarah Aceh, berhasil memaksa Teuku Ben Mahmud turun gunung. Gerilyawan Ulung Berkaliber Internasional itu muncul dengan 160 anggota dan dilengkapi senjata api.


Saat itu, seluruh pasukan perlawanan Aceh di Tapaktuan tunduk di bawah pimpinan pusat Teuku Ben Mahmud. Setelah Teuku Ben Mahmud turun gunung, Belanda menganggap perlawanan utama di wilayah ini sudah berakhir. Namun tetap saja Kapten  T. J. Veltman yang mengundurkan diri pada tahun 1911 membunyikan suara peringatan dalam memonya sebagai berikut: “Saya memperingatkan untuk selalu bertindak dengan sangat hati-hati. Sebuah alasan kecil dapat menyebabkan situasi yang menguntungkan ini berubah total”.


Satu dasawarsa setelahnya peringatan ini menjadi kenyataan dengan munculnya para pemimpin perlawanan baru seperti Teuku Maulud, Teuku Itam, Teuku Cut Ali, Teuku Raja Angkasah dan bekas bawahan Teuku Ben Mahmud lainnya yang kemudian akan melakukan balas dendam yang sangat merepotkan Belanda


Hal ini menandai dimulainya perlawanan di wilayah Zuidkust van Atjeh (Aceh Selatan) dan di Tapaktuan jilid dua. Bentang alam Aceh Selatan kembali dalam gemerlap peperangan, seperti pada zaman Teuku Ben Mahmud Blangpidie. Pasukan Aceh ini tidak melupakan seni perang gerilya; Cut Ali ini sendiri pernah menjadi panglima Teuku Ben Mahmud Blangpidie dan ikut turun gunung pada tahun 1908. Setelah Teuku Maulud dikalahkan oleh Kapten Snell pada pertempuran Krueng Batee, Cut Ali menjadi jiwa perlawanan dan dia berperilaku sepenuhnya sesuai dengan mantan komandannya; Teuku Ben Mahmud Blangpidie, dengan menghindari bahaya selama mungkin dan berusaha meningkatkan dukungannya sebanyak mungkin. Dia mengikuti kebijakan intimidasi Belanda: Brigade-brigade ditantang, baik secara lisan maupun tertulis, untuk bersaing dengannya, dan serangan klewang yang sengit dilakukan terhadap brigade-brigade yang melakukan patroli dan bivak secara sembarangan untuk melemahkan semangat pasukan dan untuk mendapatkan senjata api sebanyak mungkin.


Pada 3 April 1926, Cut Ali dan Teungku Banta Saidi gelar Panglima Rajo Lelo  IV berhasil membunuh Kapten J Paris gelar Singa Afrika di Sape, Bakongan. Peristiwa ini sangat mengejutkan Gubernur Sipil dan Militer Belanda di Kutaraja. Setelah Kapten J Paris tewas, sisa pasukannya dipimpin oleh Kromodikoro, seorang perwira polisi militer Jawa yang mencegah kekalahan total. Enam Marsose (termasuk Kapten J. Paris) tewas dalam serangan klewang terhadap brigade ini, 12 Marsose terluka.  Pada 11 Agustus 1926, Letnan Satu Willem Anne Maurits Molenaar terbunuh di Terbangan, Pasie Raja.


Peristiwa ini memantik semangat jihad masyarakat Aceh. Serangan klewang dan penyerangan bivak sering terjadi; pasukan Aceh bahkan tak segan-segan melakukan penyerangan malam hari di bivak Kapten H. Behrens yang sebelumnya mengalahkan Teuku Puteh dan pasukannya dalam pertempuran  siang hari di Krueng Luas.


Perlawanan kepada Belanda meluas ke utara bentang alam ini. Pasukan Aceh yang dipimpin Teungku Peukan menyerbu bivak Blangpidie pada malam hari tanggal 11 September 1926. Teungku Peukan syahid dalam peristiwa ini, namun hal ini tidak mengubah fakta bahwa moral perlawanan pasukan Aceh telah meningkat 100% akibat serangan yang berani tersebut.


Sementara itu pada bulan April 1926 telah dibentuk subdivisi baru yaitu "Landschape Zuidkust van Atjeh (Bentang Alam Aceh Selatan)", yang dibentuk oleh negeri Kluet dan Trumon di bawah pemerintahan militer. Setelah penyerangan Teungku Peukan terhadap bivak (tangsi) Blangpidie, Tapaktuan kembali ditempatkan di bawah kekuasaan militer dan bertanggung jawab atas pengelolaan Bentang Alam Aceh Selatan dan Tapaktuan.


Belanda kembali melakukan penyerangan besar-besaran kepada pasukan Aceh yang melakukan perlawanan yang terorganisir di wilayah ini sampai tahun 1928. Sehingga benarlah seperti yang disebut Paul van’t Veer dalam buku Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje bahwa Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terbentang benang merah sampai 1942. alur pembunuhan dan pembantaian hingga mengakibatkan perlawanan perjuangan rakyat setempat yang luas. Puluhan pembunuhan yang dilakukan orang Aceh di antara tahun-tahun itu terkenal di seluruh Hindia Belanda. 


*Penulis : Rozal Nawafil, S.Tr.IP (Wakil Ketua DPP Aceh Culture and Education, Sekretaris TP2GK Aceh Barat Daya, Penulis Buku Teuku Bentara Mahmud Setia Radja; Pahlawan Besar Perang Aceh)