Nasional.Top

lisensi

Advertisement

Advertisement
Redaksi Nasional.Top
Selasa, 01 Oktober 2024, 00:11 WIB
Last Updated 2024-09-30T18:33:05Z
Opini

Kontribusi Alim Ulama Menjaga Indonesia Dari Paham Komunisme — PKI

Advertisement

Sebelum terjadinya G30S/PKI, para alim ulama di Indonesia telah berulang kali mengingatkan pemerintah pusat untuk tidak berkompromi dengan PKI dan tidak membiarkan paham komunisme berkembang di Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan para alim ulama adalah dengan melaksanakan Musywarah Alim Ulama se-Indonesia tahun 1957.

Muktamar Alim Ulama se-Indonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957 merupakan pelaksanaan hasil Muktamar Alim Ulama se-Sumatera di Bukittinggi tanggal 14-18 Maret 1957.

Pimpinan Muktamar Alim Ulama se-Sumatera yaitu Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Inyiak Canduang) selaku Ketua Umum, Syekh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek) selalu Ketua I, KH Abubakar Bastari dari Palembang selaku Ketua II dan Teungku Abdul Wahab Keunaloi Seulimeum dari Aceh selaku Ketua III menjadi pengasas pelaksanaan Muktamar Alim Ulama se-Indonesia tahun 1957.

Penyelenggaraan Muktamar Alim Ulama se-Indonesia yang digelar di Palembang tersebut merupakan pertemuan terbesar para ulama untuk menyatukan pendapat menggugat pemerintah pusat yang dianggap salah arah pada masa itu.

Muktamar Alim Ulama 1957 menjadi momentum untuk menyuarakan keluhan dan tuntutan tersebut kepada pemerintah pusat setelah jalur representasi formal melalui anggota dewan yang terpilih pada Pemilu 1955 tidak banyak memberi hasil.

Lebih lanjut, setting sosial dan politik muktamar ini adalah efek dari demokrasi liberal yang dipraktikkan yang tidak sesuai dengan alam pikiran rakyat Indonesia yang baru merdeka dan pertentangan ideologi di Konstituante berlanjut juga di luar gedung konstituante.

Bung Karno selaku Presiden RI membacakan konsepsi presiden di lapangan Banteng tahun 1956 dimana ia akan membentuk kabinet kaki empat, mengurangi partai, dan melaksanakan demokrasi terpimpin.

Mohammad Hatta selaku Wakil Presiden memutuskan mengundurkan diri pada 1 Desember 1956. Kabinet Ali Sastroamidjojo Il juga tidak bisa berbuat banyak dan akhirnya menyerahkan mandatnya pada 14 Maret 1957.

Ketegangan makin luas, terutama daerah yang menyebabkan timbulnya sikap anti Jakarta. Sikap anti Jakarta juga menyebabkan pemberontakan di daerah-daerah seperti APRA, DII/TII, Andi Azis, Permesta, dan lain-lain.

Pembukaan Muktamar Ulama se-Indonesia dilaksanakan pada hari Minggu tanggal 8 September 1957 di Masjid Agung Palembang. Setelah dibuka oleh ketua panitia muktamar KH Rasyid Siddiq, kemudian dilanjutkan pidato Ketua Majelis Ulama Sumatera Syekh Sulaiman ar-Rasuli yang didampingi Syekh Ibrahim Musa, seterusnya sejumlah tokoh baik dari sipil, militer maupun unsur ulama dari berbagai daerah dan berbagai ormas Islam juga memberikan sambutan.

Mantan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta yang sedianya akan membuka muktamar tidak dapat hadir. Sebagai gantinya ia mengirimkan rekaman pidato sambutan ke Palembang.

Dalam sambutan tersebut, Bung Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kepandaiannya dalam memanfaatkan kondisi kemiskinan rakyat.

Ia menambahkan, apabila kaum ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme. Kata Hatta lagi, “Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia,” tegasnya.

Sementara itu, Menteri Agama RI KH Ilyas menegaskan bahwa orang-orang beragama seharusnya merupakan satu barisan. Partai Komunis telah dilarang di negara Arab.

Dalam dokumentasi muktamar tercatat sekitar 325 utusan undangan dan sekitar 300 orang peninjau dari berbagai daerah di Indonesia hadir dalam kongres tersebut. Jumlah peserta yang tidak tercatat sepertinya jauh lebih besar karena kongres dapat dihadiri oleh masyarakat umum.

Nadhlatul Ulama tidak mengirimkan utusan resmi ke kongres tersebut meskipun secara perseorangan banyak warga nadhliyin yang ikut hadir dalam kongres tersebut. Ketidakhadiran NU sebagai organisasi pada kongres tersebut akibat sikap politik pimpinan NU yang kala itu bersahabat dengan PKI.

Muktamar Alim Ulama se-Indonesia tahun 1957 di Palembang tersebut memutuskan sejumlah kesepakatan yaitu:

  1. Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya;
  2. Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam;
  3. Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll); tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut;
  4. Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme;
  5. Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia; dan
  6. Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia.

Selain itu, Muktamar tersebut juga memutuskan mengirimkan surat kawat ke pemerintah pusat yang berisi tiga poin yaitu:

  1. Haram hukumnya Ummat Islam diperintahi oleh kaum komunis;
  2. Menyatakan agar Musyawarah Nasional ini (pen: Pemerintah Pusat) perlu mengganti kabinet dengan kabinet tanpa Komunis, meniadakan Dewan Nasional; dan
  3. Menyatakan penyesalan atas sikap Presiden Soekarno yang telah menurut sertakan kaum komunis dalam pemerintah dan Dewan Nasional.

Hasil muktamar lainnya salah satunya menyatakan bahwa wajib adanya perguruan tinggi islam. Fatwa ini menjadi sebab berdirinya perguruan tinggi agama islam Sumatera Selatan (cikal bakal UIN Raden Fatah). Pada hari terakhir muktamar, tanggal 11 September 1957 dilakukan peresmian pendirian Fakultas Hukum Islam dan pengetahuan Masyarakat yang diketuai oleh KH Abdul Gani Sindang dan Muchtar Effendi sebagai Sekretaris.

Keputusan muktamar di Palembang khususnya terkait penolakan komunisme itu direspon Presiden Soekarno dengan tidak baik bahkan dijawab dengan ejekan, sebagaimana yang ditulis Buya Hamka dalam rubrik ‘Dari Hati ke Hati’, Majalah Panji Mas 1967, tentang kondisi saat PKI berkuasa serta peran alim ulama menjaga negara ini dari paham komunisme.

Pada peringatan 13 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1958, dengan suara yang gegap gempita, Presiden Soekarno mencela dengan sangat keras Muktamar para Alim Ulama Indonesia yang berlangsung di Palembang tahun 1957. Berteriaklah Presiden bahwa konferensi itu adalah ‘komunis phobia’ dan suatu perbuatan yang amoral.

Pidato yang berapi-api itu disambut dengan gemuruh oleh massa yang mendengarkan, terdiri dari parpol dan ormas yang menyebut dirinya revolusioner dan tidak terkena penyakit komunis phobia. Sebagaimana biasa pidato itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, semua golongan berbondong-bondong menyatakan mendukung pidato itu tanpa reserve (tanpa syarat).

Selain itu penolakan hasil Muktamar juga dilakukan oleh sejumlah habaib dan ulama Betawi sebagaimana yang tertulis dalam risalah berjudul “Penolakan Putusan Muktamar Alim Ulama di Palembang”.

Pada 10 November 1957, sejumlah habaib dan ulama betawi yang menamakan dirinya Majelis Haiatil Ulama Wattholabah berkumpul di sebuah bangunan bernama Gosrul Wafidin, Jalan Bidaracina (kini Jalan Otto Iskandardinata/Otista), Jakarta Timur.

Perkumpulan yang dipimpin oleh Habib Salim Jindan dan KH Hasbialloh selaku sekretaris tersebut menyatakan penolakan terkait fatwa hasil Muktamar Alim Ulama di Palembang, 11 September 1957.

Mereka menyampaikan tiga hal yaitu:

  1. Sistem Kabinet Gotong Royong yang dibentuk Soekarno itu mubah saja, tiada haram sama sekali. “Tidak ada alasan dalam agama bagi seseorang yang dapat mengharamkan hal itu, terkecuali ada alasan-alasan, dalil-dalil dan Quran, Hadist Nabi Muhammad s.a.w yang sohih beserta dengan Ijma Qaul Ulama.”;
  2. Anggota dewan nasional dengan macam-macam aliran tidak ada masalah, karena tak ditemukan ayat Al-Qur’an ataupun hadits menghukumi masalah tersebut.
  3. Mengkufurkan (menghakimi kafir kepada seseorang) yang sesungguhnya tidak main-main, karena jika benar, bisa berdampak pada banyak aspek kehidupan, dari soal perkawinan hingga hak mengurus anak, bahkan dapat berujung pada vonis mati.

Paling disayangkan, penolakan Muktamar Alim Ulama di Palembang juga datang dari Liga Muslimin Indonesia, aliansi partai politik yang salah satu pengasasnya adalah partai politik yang organisasinya didirikan oleh Inyiak Canduang.

Sebagaimana termuat dalam Harian Rakyat bahwa pada 31 Oktober 1957, sekretaris Liga Muslim Indonesja H Sofyan Siraj mengatakan bahwa Liga akan memberikan suara untuk mengutuk keputusan kongres alim ulama. Selain itu, seorang pimpinan PSII Sumatera Selatan M Syafei pada 2 Oktober 1957 juga mengecam pertemuan alim ulama di Palembang dan mengundang PKI untuk bertukar ide tentang penyatuan rakyat Indonesia melawan penjajahan.

Sikap elit Liga Muslimin Indonesia ini agak berbeda dengan cara berpikir umum PSII dan PERTI di daerah, tetapi pimpinan partai saat itu pada umumnya berniat untuk mengamankan diri dan menghindari kontaminasi dengan Masyumi selaku saingan utama PKI. Masyumi sendiri dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960 dengan dalih tuduhan terlibat dalam pemberontakan PRRI tahun 1958. Pada 1960 juga, Soekarno meluncurkan slogan NASAKOM yang didukung penuh oleh PNI, NU dan PKI.

Sebelum itu, di ujung barat Indonesia dilaksanakan pula Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung pada 15-16 Juli 1960 dan diikuti 60 ulama dari 9 kabupaten di Aceh kala itu.

Musyawarah Alim Ulama tersebut memutuskan mendukung sepenuhnya kebijakan keamanan yang selama ini dilakukan pemerintah (dalam mengatasi gerombolan DI/TII di Aceh), mendesak lahirnya UU Daerah Istimewa Aceh, menyerukan kepada pemerintah agar melarang ajaran/paham/doktrin yang bertentangan dengan sila Ketuhanan (seperti Komunisme), dan merekomendasikan masuknya unsur alim ulama dalam pemerintahan daerah sesuai keahliannya.

Keputusan musyawarah tersebut diserahkan oleh Ketua PERTI Daerah Aceh Teungku Syekh Hasan Krueng Kale kepada Menteri Keamanan Rakyat RI Jenderal Abdul Haris Nasution disaksikan Menteri Penghubung Alim Ulama RI Abdul Fattah Yasin, Pangdam I Iskandar Muda Kolonel Syamaun Gaharu dan Gubernur Aceh Prof Ali Hasymi di Pendopo Gubernur, Kutaraja pada 16 Juli 1960.

Setelah G30S/PKI terjadi, dilaksanakan kembali Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh pada 17-18 Desember 1965 yang menghasilkan beberapa keputusan penting diantaranya Komunisme kufur/haram hukumnya, penganutnya yang sadar adalah kafir, pelaku G30S/PKI adalah kafir harbi yang wajib ditumpas, pembubaran PKI wajib hukumnya.

Sebagai hasil pembicaraan tersebut diambil kesimpulan bahwa peristiwa G30S/PKI adalah masalah penting dan perlu ditangani sesegera mungkin sehingga pada 19 Desember 1965 Panglima Kodam I Iskandar Muda mengumumkan pembubaran PKI dan organisasi-organisasi bawahannya di Daerah Istimewa Aceh (Keputusan ini dilakukan sebelum dikeluarkannya Keputusan Presiden/Pangti Abri/Mandataris MPRS tanggal 12 Maret 1966 No.1/3/tahun 1966, tentang pembubaran PKI).

Selain itu musyawarah juga memutuskan untuk mendirikan Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh atau yang sekarang disebut Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh dengan Tgk H Abdullah Ujong Rimba sebagai ketua pertama. (Lembaga MPU ini lahir jauh sebelum MUI berdiri pada tahun 1975).


Penulis: Rozal Nawafil