|
Keterangan Foto: Hoofden in de Gajo-landen in Atjeh (Pemimpin di Tanah Gajo di Aceh) Tahun 1916 |
TAKENGON sekarang merupakan ibukota dari Kabupaten Aceh Tengah, negeri yang bersuku Gayo ini sudah mengalami perjalanan panjang dalam sejarah berdirinya. Setiap fase dialami dan dilewati dengan suka cita, hingga hari ini pada tanggal 17 Februari 2024 Kota Takengon sudah berumur 447 tahun. Penetapan hari jadi Kota Takengon dituangkan dalam Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2010.
Keberadaan suku Gayo di Aceh dalam sejarahnya terdapat beberapa versi, ada yang tertuang didalam Hikayat Raja Pasai dan ada pula berbagai penjelasan dari para ahli sejarah. Namun demikian sejarah tali darah antara Gayo yang dikenal gigih dan kuat dengan Aceh dijelaskan panjang dalam buku-buku sejarah Aceh dan Nasional, ibarat bunga Renggali dan Seulanga.
Dalam sejarah masyarakat Gayo dinukilkan bahwa Kerajaan Linge didirikan oleh Adi Genali pada tahun 1025 M. Meurah Adi Genali berasal dari Imperium Rum, yang terdampar di Buntul Linge akibat tekanan dan pergolakan. Negeri Rum yang dimaksud adalah sebuah kerajaan yang memerintah di kawasan Turki sekarang. Disebutkan, pada kurun 1205-1453 terdapat komunitas muslim Rum yang berada dalam kehidupan keagamaan yang agak tertekan di bawah pemerintah Kerajaan Rum, sehingga sebahagian penduduknya memilih menyelamatkan diri ke Eropa Timur, seperti Tarkizistan, Turkistan, dan Ajerbaizan. [Dr Yusra Habib Abdul Gani, Gayo dan Kerajaan Linge. 2018; H. M. Zainuddin, Tarikh Aceh Nusantara. 1961]
Dalam cerita lainnya menyebutkan bahwa suku Gayo adalah penduduk asli negeri Pasai yang lari ke hulu sungai Peusangan karena tidak mau masuk Agama Islam [Russel Jones, 1999’; Hill A.H 1960]. Kisah ini bermula saat Syeikh Ismail untusan Syarif Mekah datang ke Samudera Pasai atas perintah dari Sultan Muhammad (Raja Malabar cucu Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq) dan mengislamkan Meurah Silu yang kemudian bergelar Malikul Saleh, kemudian Syeikh Ismail juga mengislamkan Seri Kaya dan Seri Bawa Kaya kelak diangkat diangkat menjadi menteri di Samudera Pasai, dengan gelar Sidi Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Orang-orang yang tidak mau masuk Islam berpindah ke hulu sungai Peusangan dan membuat negeri disana (boleh jadi negeri Gayo bagian Raja Bukit sekarang). [H. M. Zainuddin, Tarikh Aceh Nusantara. 1961].
Adapun demikian dalam sejarah diaspora puak Melayu disebutkan bahwa suku Gayo berasal dari golongan Melayu Tua yaitu bangsa yang pertama sekali menduduki negeri Aceh. Hal ini dibuktikan dengan penemuan pakar arkeologi di kampung Mendele, didekat tipi danau Laut Tawar, sejak 3000 tahun yang lalu sudah ada peradaban manusia bahkan di daerah Serbajadi berdekatan dengan Tamiang.
Peranan suku Gayo sangat besar dalam penyebaran Islam dan berdirinya Kerajaan Aceh, maka tidak asing dalam catatan sejarah Aceh sering kali kita jumpai gelar “Meurah” seperti Meurah Mersa, Meurah Silu yang keduanya merupakan keturunan dari Meurah Makdum Malik Ishak yang merupakan raja pertama Negeri Isak Gayo. [Teuku Syahbudin Razi, Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh dan Nusantara].
Meurah Makdum Malik Ishak (raja pertama Negeri Isak Gayo) mempunyai anak bernama Meurah Malik Nasir, dari Malik Nasir ini melahirkan pemimpin beberapa negeri seperti Meurah Makdum Malik Ibrahim di Jeumpa, Meurah Bacang di Barus, Meurah Pupok di Daya, Meurah Jernang di Seunagan, Meurah Putih di Meureudu, Meurah Meuge di Isak dan Meurah Itam di Samalanga.
Setelah sepeninggal Meurah Makdum Malik Ibrahim, Jeumpa di pegang oleh anak Malik Ibrahim bernama Raja Muhammad, dari Raja Muhammad dikaruniai seorang putri bernama Putroe Beutong, dan Putroe Beutong ini dinikahkan dengan Meurah Makdum Malik Abdullah yang tidak lain adalah anak dari Meurah Ahwal adik Raja Muhammad dengan kata lain nikah sepupu. Dari pernikahan inilah lahir seorang putra bernama Meurah Silu atau Sultan Malikul Saleh raja pertama Samudera Pasai.
Kelak dari trah Samudera Pasai ini lahir seorang putri bernama Sultanah Nahrisyah Malikul Zahir yang menikah dengan Sultan Alaiddin Husinsyah Abdullah Malikul Mubin yang merupakan keturunan ke 8 (delapan) dari Meurah Adi Geunali raja pertama Lingga Gayo. Dari pernikahan inilah dikarunia dua orang putera, yang pertama Sultan Alaiddin Inayatsyah (sultan ke delapan Darul Kamal) dan Sultan Sulaiman Nur (raja pertama di Pidie). Terakhir dari trah ini pula akan tergabungkan antara Darul Kamal dan Meukuta Alam hingga nantinya berdiri pada tahun 1511 Kesultanan Aceh Darussalam oleh Sultan Ali Mughayat Syah, hingga sampai dimasa keemasan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Perjalan panjang ini memang banyak menuai pengkaburan sejarah, akan tetapi Renggali dan Seulangga tetap menjadi satu bagian yang tidak terpisahakan sampai kapanpun. Selamat hari jadi Kute Takengen yang ke-447 (17 Februari 1577-2024), semoga terus berjaya, semoga Allah berikan keberkahan dalam umur sejarah yang panjang ini, semoga terus terjalin hubungan baik antara Renggali dan Seulanga, dan abadi selama-lamanya.
Penulis: Aris Faisal Djamin, S.H (Sekretaris Umum Majelis Raya Pemangku Adat Kesultanan Aceh Darussalam)