Advertisement
Rozal Nawafil, S.Tr.IP |
Darussalam (دار السلام) merupakan kalimat bahasa Arab yang berarti negeri keselamatan atau negeri kedamaian. Kata salâm dalam bahasa Arab berarti selamat, kedamaian, kesejahteraan, sentosa dan terlepas dari marabahaya. Kata ini seakar dengan kata “islâm” yang secara harfiah bermakna keselamatan, bersikap damai atau berserah diri. Keberserahan diri yang total kepada Allah akan membawa seorang hamba kepada keselamatan (salâmah) baik secara lahir maupun batin.
Darussalam merupakan cita-cita luhur umat Islam dan bangsa Indonesia secara khusus. Hal inilah yang menyebabkan banyak wilayah di Muluk al-Jawiyah / Diyar al-Jawi / Bilad al-Jawi / Negeri di Bawah Angin atau kepulauan Melayu yang menggunakan kalimat Darussalam di akhir nama kenegerian mereka.
Seperti di dalam Hikayat Pasai yang menyebut Samudra Pasai sebagai Darussalam, teks Babad Cirebon riwayat Maulana Sulthan Hasanuddin al-Jawiy Banten yang menyebut Champa dan Jawa sebagai Darussalam, naskah Tambo Minangkabau yang menyebut ibukota pertama Pagaruyuang yaitu Sungai Tarab Darussalam, begitupun pedalaman Kerinci di Sumatra disebut juga Kurinci Darussalam, seterusnya Palembang Darussalam, Aceh Darussalam, Patani Darussalam sampai Brunei Darussalam.
Penamaan Darussalam ini sebagaimana tersebut dalam naskah Al-'Uqud Al-Lu'luiyah fi Akhbari-d-Daulati-r-Rasuliya karya Ali bin Hasan Al-Khazraji (wafat 1409 M) berasal dari para wali alawiyyin dan murid-muridnya yang menyebut master plan Islamisasi yang mereka lakukan dari negeri Hadramaut, Yaman ke berbagai penjuru termasuk ke wilayah Nusantara pada abad 13 - 14 M sebagai proyek Darussalam. Penamaan ini didasarkan pada nama salah satu surga yaitu Darussalam.
Artinya: "Allah menyeru (manusia) ke Dārussalām (surga) dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki menuju jalan yang lurus (berdasarkan kesiapannya untuk menerima petunjuk)." (QS Yunus: 25).
Artinya: "Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) di sisi Tuhannya..." (QS Al-An'am: 127).
Masyarakat Nusantara menerima seruan Islam dengan hati yang bersih dan tanpa paksaan siap menerima petunjuk. Terbukti proses islamisasi wilayah Nusantara berlangsung dalam kedamaian tanpa peperangan hingga bahkan saat ini Nusantara adalah wilayah dengan muslim terbanyak di dunia. Sekaligus juga membuat syafiiyah yang sebelumnya berkembang di wilayah Yaman juga menjadi madzhab fiqih terbesar di dunia. Begitupun asyariyah menjadi madzhab akidah terbesar yang dianut jumhur / mayoritas umat Islam dunia (assawadul a'dzham).
Sejatinya proses islamisasi dan penaklukan wilayah dalam sejarah Islam senantiasa didasarkan pada prinsip toleransi yang tinggi dan tanpa ada paksaan. Hal ini juga yang terjadi kala Sayyidina Umar menaklukkan Yerussalem (Darussalam). Begitupun setelah Shalahuddin al-Ayyubi menaklukkan kembali Kota Yerussalem. Juga sejarah-sejarah lainnya. Para pemimpin Islam dari generasi ke generasi berupaya membangun pemerintahan yang damai dan penuh keselamatan.
Pesan-pesan kedamaian dan keselamatan inilah yang selalu dibawa oleh para pendakwah, penguasa, saudagar dan masyarakat Islam lainnya dalam bermualamah dan menjalin hubungan sesama manusia (hablumminnas). Bahkan menurut satu riwayat, penamaan Kota Salem di Massachusetts, Amerika Serikat dipengaruhi oleh hubungan dagang mereka dengan umat Islam di Kuala Batee, Aceh Barat Daya mulai abad 17.
Bandar Aceh Darussalam yang dibangun oleh Meurah Johan Syah dan Syekh Abdullah Kan'an pada hari Jumat, 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M) menjadi pusat awal penyebaran Islam di Asia Tenggara. Pendirian bandar ini pada 22 April 1205 sampai saat ini secara resmi diperingati sebagai Hari Lahir Kota Banda Aceh. Begitupun sejak Sultan Ali Mughayat Syah dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Aceh Darussalam pada hari Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H (8 September 1507), nama Aceh selalu bersanding dengan kata Darussalam.
Aceh Darussalam pada masa Kesultanan menjadi kiblat ilmu pengetahuan di nusantara dengan hadirnya Jamiyah (Universitas) Baiturrahman di Banda Aceh. Kampus itu dilengkapi dengan berbagai fakultas dengan guru dan mahasiswa yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Begitupun dengan Dayah dan Masjid Habib Abubakar bin Husain Bilfaqih di Peulanggahan yang menjadi tempat manasik jamaah calon haji dari berbagai wilayah di Nusantara.
Kembali ke Darussalam bermakna kembali ke jalan kedamaian dan keselamatan. Syekh Muhammad Waly al-Khalidy al-Asyi wal-Minangkabawi (Abuya Muda Waly) menamai lembaga pendidikan yang ia bangun di Labuhan Haji, Aceh Selatan saat akhir masa penjajahan Belanda sebagai Dayah Darussalam. Abuya Muda Waly mengharapkan Dayah Darussalam yang ia bangun menjadi Safinatus Salamah wan Najah (bahtera keselamatan dan kesuksesan).
Abuya Muda Waly merupakan tokoh reformis pendidikan Aceh. Menurut K.H. Sirajuddin Abbas (w. 1980), Abuya Muda Waly adalah ulama yang paling berhasil di Aceh. Dayah Darussalam Labuhan Haji yang ia dirikan telah melahirkan ulama-ulama besar Syafi’iyah yang selalu menjadi kiblat masyarakat Aceh, bahkan Nusantara. Saat ini hampir seluruh ulama dayah Aceh, sanad keilmuannya bersambung ke Abuya Muda Waly. Saat dipimpin Abuya Muda Waly (w. 1961) Dayah Darussalam menyelenggarakan pendidikan setingkat perguruan tinggi dengan nama Bustanul Muhaqqiqin. Saat ini di Dayah Darussalam juga telah dibangun Ma'had 'Aly Syekh Muda Waly.
Tersohornya Dayah Darussalam juga memasyhurkan Labuhan Haji sebagai pusat pendidikan Islam di Aceh. Hal ini salah satunya tergambar dalam syair yang digubah oleh Syah Loetan yaitu "Naksu ke malem jak Labuhan Haji. Naksu ke campli u Kuta Faja. Naksu mita peng jak u Blangpidie. Naksu meutani u Geunang Jaya" (Jika mau jadi orang alim atau ulama pergilah belajar ke Dayah Darussalam Labuhan Haji. Kalau ingin menanam atau membeli cabai, datanglah ke Kota Fajar, Kluet Utara. Kalau mau mencari uang atau rezeki pergilah ke Blangpidie. Dan bila mau bertani pergilah ke Geunang Jaya, Babah Rot).
Kembali ke Darussalam juga bermakna mengembalikan ilmu ke pangkalnya, yaitu Darussalam. Dayah Darussalam merupakan representasi dari Ahlussunnah wal Jama’ah dalam i’tikad, Mazhab Syafi’i dalam furu’ fiqih, dan tasawuf sunni/ thariqat mu’tabarah dalam suluk menuju maqam ihsan. Menyebut nama “Dayah Darussalam” bukan berarti mendiskreditkan pusat-pusat keilmuan lain, yang juga bertebaran dan mempunyai kekhasan di Nanggroe Aceh ini. Dayah Darussalam disebut, karena ia merupakan Dayah Induk bersama Dayah Krueng Kalee di Kecamatan Darussalam, Aceh Besar yang didirikan guru Abuya Muda Waly yaitu Syekh Hasan Krueng Kale. Keduanya merupakan tokoh Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) yang merupakan guru sebagian besar ulama Aceh kontemporer.
Sosok Abuya Syekh Muda Waly, patut kita renungkan bersama. Beliau faqih dan ushuli, yang keilmuannya beliau pelajari mulai dari ayahnya yaitu Syekh Muhammad Salim, Syekh Muhammad Ali Lampisang, Syekh Mahmud Blangpidie, Syekh Hasan Krueng Kale, Syekh Hasballah Indrapuri, Prof Mahmud Yunus, Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Muhammad Jamil Jaho hingga Syekh Ali al-Maliki al-Makki. Beliau juga seorang sufi, pengamal dan mursyid dalam Thariqat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dipelajari/ diijazahkan oleh Syekh Abdul Ghani Batu Basurek al-Kampari (w. 1961).
Maulana Syaikh Muhammad Waly juga salah seorang “pendekar” Aswaja. Beliau membela amal dan ilmu Ahlussunnah wal Jama’ah bukan hanya lewat lisan, juga melalui tulisan. Bahkan saat berusia muda beliau pernah bermuzakarah secara terbuka dengan Teungku Muhammad Sufi Glee Karong di Masjid Jami' Baitul 'Adhim Blangpidie.
Bukan hanya membentengi diri dari paham tajdid, beliau juga meluruskan amal atau thariqat yang tidak sesuai dengan pandangan beliau yang merujuk pada kitab-kitab mu’tabar, dan mu’tamad, dari kalangan sufi, serta apa yang beliau dapatkan dari guru-guru beliau dalam ilmu tasawuf yang sanadnya mu’an’anah sampai pada Nabi Muhammad. Beliau secara khusus menyebut kelompok penganut thariqat yang menyimpang tersebut sebagai Salek Buta atau orang yang berjalan tanpa lentera.
Abuya Muda Waly dan Abu Hasan Krueng Kale merupakan ulama besar dan pejuang Aceh yang nasionalis. Mereka berperan penting dalam pemberian gelar Waliyul Amri Adh-Dharuri Bisy-Syaukah kepada Presiden Soekarno melalui Konferensi Alim Ulama di Cipanas Bogor tahun 1954. Hal tersebut sekaligus melegitimasi keabsahan Presiden Republik Indonesia (Soekarno) sebagai pemimpin yang sah menurut ajaran Islam.
Keputusan tersebut bertolokbelakang dengan klaim Sekarmaji Marjian Kartosuwiryo yang menyebut dirinya Amir Darul Islam Indonesia. Abuya Muda Waly dan Abu Krueng Kale termasuk bagian ulama yang berseberangan dengan gerakan Negara Islam Indonesia dan mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Darussalam bukan Darul Islam.
Tanpa terlalu berurusan dengan politik praktis, Abuya Muda Waly lebih berfokus pada keilmuan, perkaderan dan pengembangan pesantrennya. Ia selalu berpesan kepada muridnya agar terus memperjuangkan pendidikan dan menggalakkan beut seumeubeut di seluruh Aceh dan Indonesia secara umum.
Setelah pemberontakan gerombolan DI/TII pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh berakhir melalui Ikrar Lamteh tahun 1957, dilakukan rekonsiliasi melalui Perjanjian Darussalam pada 10 Mei 1959 yang ditantangani Dewan Revolusi NBA-NII (Negara Bagian Aceh-Negara Islam Indonesia). Terdapat 12 poin dalam Perjanjian Darussalam. Adapun poin pertamanya adalah "Propinsi Atjeh, dirubah mendjadi Daerah Istimewa dengan nama Daerah Istimewa Atjeh Darussalam".
Perjanjian Darussalam melahirkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959 tanggal 26 Mei 1959 yang memberikan status Daerah Istimewa krpada Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh yang kemudian disebut Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Aceh kemudian memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. Status ini dikukuhkan dengan UU Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun poin-poin selanjutnya dalam Perjanjian Darussalam penulis melihat tidak terlalu berbeda dengan naskah MoU Helsinki yang dibuat 46 tahun setelahnya. Mungkin hanya 10 % unsur kebaruan (novelty) yang terdapat dalam MoU Helsinki. Sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer, keengganan kita berguru pada sejarah telah membuat kita terlempar pada keranjang sampah peradaban.
Perang yang terjadi di Aceh mulai dari perang kolonial, revolusi nasional dan darul Islam membuat pemimpin Aceh kala itu berusaha keluar dari segala keterpurukan. Sehingga dibangunlah Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam. Sebagaimana seperti Dayah Darussalam Labuhan Haji yang dibangun di tanah yang sebelumnya kata orang adalah sarang hantu. Begitupun tempat dibangunnya Kopelma Darussalam di Banda Aceh.
Keberadaan kedua komplek pendidikan tersebut layaknya aksi usaha esensi pendidikan (tarbiyah) Islam yaitu membawa umat dari zaman jahiliyah ke zaman Islamiyah, dari alam kebodohan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan, dari perpecahan ke persatuan atau dari daerah peperangan (Darulharb) ke daerah kedamaian (Darussalam).
Gubernur Aceh, Prof. Ali Hasymy saat itu merumuskan Konsepsi Pendidikan Darussalam di Aceh, yang di ibukota provinsi pusatnya disebut Kota Pelajar dan Mahasiswa; di tiap-tiap kabupaten, pusat pendidikannya disebut Perkampungan Pelajar; dan di tiap-tiap kecamatan, pusat pendidikannya disebut Taman Pelajar.
Pada 17 Agustus 1958 diletakkan batu pertama pembangunan Kopelma Darussalam oleh Menteri Agama Kepublik Indonesia K.H. Muhammad Ilyas. Kemudian pada 2 September 1959, Presiden Soekarno meresmikan kampus Kopelma Darussalam yang saat itu baru berdiri sebuah SMA dan sebuah Fakultas Ekonomi sebagai embrio dari Universitas Syiah Kuala yang namanya diambil dari nama mufti Kerajaan Aceh Darussalam sekaligus orang pertama yang menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu yaitu Syekh Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri as-Singkili (w. 1693 M).
Presiden Soekarno, dalam surat pernyataan pembukaan Kopelma Darussalam tanggal 2 September 1959, menyatakan bahwa "Darussalam sebagai pusat pendidikan daerah Aceh adalah sebagai lambang iklim damai dan suasana persatuan, sebagai hasil kerjasama rakyat dan para pemimpin Aceh dan sebagai model pembangunan dan kemajuan bagi daerah Aceh dan Indonesia pada umumnya."
Proklamator Republik Indonesia itu pun menorehkan kata-kata yang bermakna sangat dalam yang kemudian diabadikan pada Tugu Darussalam yang terletak di tengah-tengah Kampus Universitas Syiah Kuala, yang berbunyi, "Tekad bulat melahirkan perbuatan nyata. Darussalam menuju kepada pelaksanaan cita-cita". Setelah peresmian tersebut Ali Hasyimy kemudian menjadikan tanggal 2 September sebagai Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh (Hardikda).
Dalam perkembangan Kampus Darussalam selanjutnya, dibentuk pula sebuah perguruan tinggi Islam yang realisasinya dimulai dengan pendirian Fakultas Syariah IAIN Al Jamiah Al Hukumiyah, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 40 Tahun 1960 tanggal 12 Agustus 1960 dan diresmikan pada 2 September 1960. Hingga pada 20 September 1963, diresmikan IAIN Jamiah Ar-Raniry Banda Aceh yang namanya diambil dari nama mufti Kerajaan Aceh Darussalam yaitu Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan merupakan IAIN yang ketiga di Indonesia. Upacara peresmian IAIN Jamiah Ar-Raniry yang awalnya memiliki tiga fakultas yaitu Fakultas Syariah, Tarbiyah dan Ushuluddin tersebut dilaksanakan oleh Menteri Agama RI, K.H. Syaifuddin Zuhri pada 5 Oktober 1963.
Di samping kedua perguruan tinggi tersebut, pada 1965, dibangun pula Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Banda Aceh di Kopelma Darussalam berdasarkan Meputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 12/1965 tanggal 15 Mei 1965. Sebagai pimpinan APDN Banda Aceh yang pertama adalah Teuku Usman Jakob. Kampus APDN Banda Aceh kemudian pindah ke Lampineung hingga tahun 1991 dan kemudian ditutup akibat kebijakan Mendagri Jenderal Rudini yang menyatukan 20 APDN Daerah menjadi APDN Nasional/STPDN di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Kemudian juga dibina suatu lembaga perguruan tinggi Islam yang berbentuk dayah (pesantren) dengan nama Dayah Teungku Chik Pante Kulu. Peresmian pembukaan Dayah Manyang tersebut, dilaksanakan oleh Presiden Soeharto pada 31 Agustus 1968. Seterusnya beberapa lembaga pendidikan lain juga dibangun di sekitar Kopelma Darussalam.
Akibat konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 mengusulkan pemberian otonomi khusus yang lebih luas sekaligus merubah nama Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal ini kemudian disahkan pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri melalui UU Nomor 18 tahun 2002. Namun pada 7 April 2009, Gubernur Irwandi Yusuf melalui Pergub Aceh Nomor 46 Tahun 2009 menghilangkan kata "Nanggroe" dan "Darussalam" dari nama Aceh.
Dalam satu seminar di Hotel Majapahit, Jakarta tanggal 19 Mei 2009, Irwandi Yusuf menjelaskan perubahan nama Aceh tersebut dilakukan karena menurutnya nama NAD itu hanya pemberian pusat (Jakarta) agar menarik perhatian bagi GAM bahwa Aceh telah menjadi Nanggroe atau Negeri. “Itu hanya akal-akalan pusat saja, yang penting substansinya; ngapain NAD-NAD, palak kali (marah sekali) Aku saat mendengar orang ngomong NAD-NAD, mau Aku pukul orang itu yang ngomong NAD-NAD", ujarnya.
Menyinggung baru sekarang (tahun 2009) NAD berubah menjadi Aceh, Irwandi menjawab dengan berapi-api “Sekarang Aku Gubernur nya, Aku yang berkuasa di Aceh”. Lihat saat PON berlangsung, dahulu Aceh pada parade pembukaan selalu di urutan awal, karena sesuai abjad A (Aceh); setelah diganti NAD menjadi paling akhir, sebab abjad N (NAD).
Rozal Nawafil, S.Tr.IP
Ketua Bidang Dakwah, Sosial dan Ekonomi Kreatif Pengurus Besar KMTI; Sekretaris Balitbang Aceh Culture and Education